Kamis, 12 Maret 2015

BUDAYA ANTI KORUPSI

Masih ingat slogan "Berani Jujur itu Hebat!" ? atau "Biasakan kebenaran jangan membenarkan kebiasaan!" ? Mengerikan. Slogan-slogan seperti itu sekarang bukan lagi terpajang atau tergantung, melainkan rapi tersimpan di tempat yang tidak seorang pun bisa membacanya.

 

Padahal pesan dari slogan sederhana tersebut sangat berkarakter bagi pembacanya. Kejujuran sekarang menjadi karakter yang langka. Dimana budaya korupsi telah mengambil alih. Maka tidak heran semua kini penuh kepalsuan. Orang jujur telah digeser kedudukannya oleh orang-orang yang curang. Perlu diingat, kejujuran senantiasa mendapatkan 3 hal yakni : kepercayaan, rasa hormat dan cinta. Tentu bisa dibayangkan jika Negara ini diisi oleh orang-orang yang curang. Rasa percaya, hormat dan cinta akan terhapus dengan sendirinya. Tentu kita masih berharap, orang-orang jujur di Negeri ini tetap bertahan dan tegas dengan karakternya. Kejujuran harus senantiasa diikuti dengan membiasakan kebenaran, bukan dengan membenarkan kebiasaan. Karena kebiasaan cenderung tidak berpedoman pada kebenaran.

 

Lalu apa sih Korupsi itu ? Korupsi atau rasuah (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) adalah tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak. 

Korupsi terbagi menjadi 2 hal:

  • Perilaku Korupsi, contohnya tidak jujur, tidak peduli, menipu dan sebagainya

  • Tindak Pidana Korupsi, contohnya suap/sogokan

Nah, perilaku korupsi merupakan mata rantai yang harus diputus penularannya agar tidak berkembang menjadi tindak pidana korupsi. Kita tahu, bahwa perilaku korupsi sangat mempengaruhi orang sekitarnya dan berpotensi menular. Disinilah harusnya gerakan Budaya Anti Korupsi digiatkan. Bukan pada pelaku tindak pidana korupsinya yang cenderung sudah akut. Korupsi telah membudaya ke seluruh lapisan bahkan dalam keseharian kita ada saja ditemui prilaku korupsi. Contoh sederhananya, banyak ditemukan anak-anak pelajar ketika makan gorengan di kantin berprilaku curang. Makan 5 gorengan tapi bayar 2 gorengan. prilaku-prilaku seperti ini yang kemudian berkembang menjadi tindakan korupsi. Berawal dari gorengan bisa jadi berakhir triliyunan.


Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

  • perbuatan melawan hukum,

  • penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana,

  • memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, dan

  • merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Jenis tindak pidana korupsi di antaranya, namun bukan semuanya, adalah

  • memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan),

  • penggelapan dalam jabatan,

  • pemerasan dalam jabatan,

  • ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara), dan

  • menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).

Lainnya yaitu : hal-hal yang bersifat transaktif, investif, perkerabatan (nepotisme), defensif (usaha mempertahankan diri -> korban korupsi), otogenik maupun dukungan-dukungan.

 

Lalu dimana kita mulai menggerakkan Budaya Anti Korupsi ?

tentu dimulai dari keluarga. Disinilah karakter Anti Korupsi harusnya di gencarkan. Orang tua yang bisa menanamkan karakter kuat sejak dini pada anaknya tentu berimbas pada karakter diri yang tahan terhadap godaan dan teguh pendirian. Berawal dari keluarga dengan nilai-nilai yang mantap baru Budaya Anti Korupsi melebar pada institusi, masyarakat lokal hingga nasional. Baik melalui peran yang bersifat inisiator, educator, motivator bahkan implementator.


Untuk mendukung penerapan Budaya Anti Korupsi, kondisi-kondisi yang mendukung munculnya korupsi perlu diantisipasi dengan seksama. Kondisi-kondisi tersebut antara lain:

  • Konsentrasi kekuasaan di pengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab langsung kepada rakyat, seperti yang sering terlihat di rezim-rezim yang bukan demokratik.

  • Kurangnya transparansi di pengambilan keputusan pemerintah

  • Kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari pendanaan politik yang normal.

  • Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar.

  • Lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan "teman lama".

  • Lemahnya ketertiban hukum.

  • Lemahnya profesi hukum.

  • Kurangnya kebebasan berpendapat atau kebebasan media massa.

  • Gaji pegawai pemerintah yang sangat kecil.

  • Lemahnya ekonomi

  • Kesempatan untuk korupsi akibat lemahnya hukum

  • Lemahnya kedisiplinan

  • Nafsu akan kekuasaan dan kekayaan

Oleh karena itu, perlu juga kekuatan dalam perspektif agama, budaya dan hukum. Indonesia dikenal sebagai Negeri yang beragama, berbudaya dan hukum. Akan tetapi, dalam kesehariannya, karakter diri yang ditampilkan tidak seperti demikian. Ketiga hal tersebut nampak tidak muncul. Sikap hidup yang cenderung tidak punya karakter inilah yang perlu dibenahi. Jika memang budaya anti korupsi ingin ditegakkan maka disinilah aspek-aspek yang menjadi perhatian.